Manusia Perbatasan


Mukadimah
November 13, 2008, 7:28 pm
Filed under: Uncategorized

dscn2610Blog ini sengaja dibuat sebagai ajang bertukar-pikiran, berbagi rasa, dan memeriksa kehendak si pemilik blog dan pengunjungnya. Pemilik blog ini adalah seorang wartawan. Usai menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di sebuah universitas di Jakarta, ia langsung terjun menjadi wartawan. Tujuh tahun dihabiskannya menjadi wartawan di sebuah suratkabar di Jakarta. Sempat merasa jenuh, ia berangkat ke Filipina “mengisi baterai” di Fakultas Pascasarjana bidang komunikasi pembangunan. Pulang dari situ, ia terjun lagi menjadi wartawan. Tapi, kali ini, di media televisi swasta, juga di Jakarta, sampai sekarang.



Tentang Identitas
November 12, 2008, 8:13 am
Filed under: Refleksi

 

Teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi terus berkembang. Inter-relasi dan interaksi antarmanusia di muka bumi pun meluas dan mendalam, tapi juga dangkal. Orang kini mudah berpindah dari satu negara ke negara lain, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu lokasi ke lokasi lain. Orang juga kini mudah saling kontak satu sama lain. Setiap hari berjuta-juta informasi berseliweran dan setiap orang mega-megap berusaha menggapainya.

 

 

Makin hari makin banyak saja kita temukan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan antar-ras, antar-suku, antar-agama, dan antar-golongan. Anak-anak hibrida ini mengalami kesulitan jika ditanya apa ras atau apa sukunya. Mereka tidak suka digolong-golongkan berdasarkan ras, suku, atau agama. Mereka ingin melampaui semua itu. Mereka lebih suka disebut atau menyebut diri sebagai manusia kosmopolitan. Manusia yang berpandangan luas dan terbuka, tidak terikat atau mau diikat oleh seduah identitas yang ajeg.

 

 

Bersamaan dengan situasi sosial baru ini, berkembang juga arah sebaliknya. Ada orang atau kelompok yang justru berusaha makin menguatkan identitasnya. Ada yang mencoba mencari pendasarannya pada ras, suku, bangsa, ada juga pada agama. Semua ini sebenarnya sah-sah saja, karena sudah menjadi kodrat manusia untuk hidup berkelompok. Untuk mengikat rasa berkelompok, manusia membutuhkan identitas – untuk membedakannya dengan kelompok lain.

 

 

Menjadi masalah ketika identitas dipahami sebagai sesuatu yang statis, tunggal, dan superior. Di sini identitas menjadi faktor pemecah-belah. Mereka sulit menerima kehadiran yang lain (the other, liyan). Bahkan, mereka yang menjadikan identitas statis menjadi penentu eksistensi diri tak segan-segan melakukan tindak kekerasan hanya sekadar untuk meneguhkan superioritas diri atau kelompoknya.

 

 

Perkembangan atau kemajauan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi tidak dengan sendirinya memudahkan lahirnya saling pengertian di antara diri individu dan kelompok. Problem manusia masa kini adalah bagaimana secara terus-menerus mengembangkan pengetahuan tentang situasi sosial baru, dan bagaimana mengembangkan keterampilan berkomunikasi agar kehidupan bersama bisa berjalan penuh pengertian, saling menghormati, saling bertoleransi. Hanya dengan semua ini kehidupan damai di muka bumi bisa diwujudkan.

 

 

Kita sebenarnya adalah manusia perbatasan. Kita senantiasa hidup di batas identitas. Sepanjang kita masih hidup bermasyarakat, sepanjang itu pula kita tidak pernah selesai dengan satu identitas. Sesungguhnya, kita sebagai individu memiliki banyak identitas dan hidup bersama orang lain yang juga memiliki banyak identitas. Kita sebenarnya tidak perlu harus menyelesaikan semua paradoks ini dengan buru-buru merangkul satu identitas yang ajeg, tunggal, apalagi dipahami superior.***



Sudah Mati, Masih “Nyusahin”
Desember 1, 2008, 5:29 pm
Filed under: Refleksi

 

Jalan Saharjo, Jakarta. Suatu siang. Bersama sopir, aku mengendarai mobil dari arah Manggarai menuju Pancoran. Jalan yang tak terlalu lebar itu agak macet. Kendaraan Metromini dan angkot berhenti seenaknya menurunkan dan menaikkan penumpang. Kemacetan bertambah parah karena beberapa mobil pribadi juga diparkir sembarangan di bahu jalan.

 

Dengan pelan dan penuh hati-hati, sopir kendaraanku mencoba mengambil jalan arah kanan melewati Metromini yang mendadak berhenti. Sontak dari belakang datang serombongan pria berkendaraan sepeda motor. Mereka membawa bendera kuning kecil terbuat dari kertas. Seorang yang dibonceng sepeda motor tiba-tiba memukul badan kanan mobil yang kukendarai. Mata pria itu terlihat melotot. Dia mengacung-acungkan bendera itu sambil membuka tutup mulutnya. Aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan.

 

Setelah si sopir berhasil menuruti perintah lelaki itu, kulihat semakin banyak orang dalam rombongan sepeda motor. Di belakang mereka ada mobil bak terbuka. Di atasnya ada keranda mayat ditutup kain hijau dengan hiasan aksara Arab. Mereka ternyata tengah mengantarkan orang yang sudah mati menuju pemakaman. Dari jalan Saharjo memang ada dua makam yang agak dekat: makam Pejompongan dan makam Karet.

 

Aku tidak tahu siapa yang sudah mati itu. Aku tak tahu kenapa ia mati. Aku pun tak tahu apa profesi dan pekerjaannya ketika hidup. Aku juga tak tahu apakah dia tokoh atau anggota masyarakat biasa. Tapi melihat begitu banyak orang yang mengantarkannya ke liang kubur, aku pikir pastilah dia punya banyak saudara atau simpatisan atau pengikut.

 

Yang membuat aku jadi bertanya-tanya adalah apa hak orang-orang yang mengantarkan mayat itu merebut hak orang lain di jalan raya? Siapa yang memberi kekuasaan pada mereka sehingga bisa secara sewenang-wenang memukul mobil orang lain dan memerintahkan orang lain untuk memberinya jalan?

 

Aku hanya berharap semoga mayat yang mereka antarkan itu, semasa hidup, memang telah berbuat banyak untuk sesama. Tapi bagaimana kalau dia  tidak berbuat apa-apa untuk kepentingan orang banyak? Atau, malah sebaliknya, selama hidup ia justru membuat susah banyak orang di sekitarnya? Berarti orang ini,  sudah mati pun masih merugikan dan menyusahkan orang lain.

 

Dia sudah pasti tidak tahu perbuatan tercela orang-orang yang mengantarkannya ke liang kubur itu. Lha, dia sudah mati! Yang aku sayangkan, kalaulah yang mati itu adalah orang saleh, sebenarnya ia sungguh tersiksa melihat perilaku para pengantarnya itu.

 

Jadi, soalnya memang pada orang yang masih hidup. Pertanyaannya, apakah ketika hidup, ketika dia belum menjadi mayat, orang-orang yang mengantarkannya dengan gegap gempita ke pemakaman itu juga memuliakannya? Kalau tidak, berarti kita rupanya lebih memuliakan orang mati daripada orang hidup. Masya Allah!***



Generasi Muda Penerus Bangsa?
November 24, 2008, 5:59 am
Filed under: Refleksi

 

Sering kita mendengar atau membaca pernyataan begini: generasi muda adalah penerus bangsa. Pernyataan seperti ini sering keluar dari mulut seorang tokoh publik. Biasanya itu diucapkan ketika memperingati peristiwa sejarah berkaitan dengan peran generasi muda. Pertanyaannya: apa benar generasi muda penerus bangsa?

 

Kalau asumsinya bahwa generasi muda sekarang pastilah kelak berperilaku baik dan berkeinginan mempertahankan kelangsungan hidup berbangsa, pernyataan itu bisa jadi benar. Tapi, kenyataannya, yang disebut generasi muda itu tidaklah tunggal dan statis. Aspirasi dan keinginan mereka bisa saja berkembang seiring perjalanannya. Sikapnya terhadap bangsa pun bisa saja berubah. Misalnya, sebagai individu atau kelompok, ada bagian dari generasi muda sekarang yang merasa bangsa yang sekarang tak perlu diteruskan.

 

Tapi, kenapa hal itu bisa mungkin? Pertama, jika sebagian generasi muda merasa bahwa kebijakan pembangunan yang berlangsung sekarang telah menempatkan mereka pada posisi yang diperlakukan secara tidak adil, alias didiskriminasi. Kedua, sebagian generasi muda merasa bahwa hukum telah diberlakukan secara tidak sama. Buat orang kaya dan berpunya, hukum bisa terasa lunak. Sementara buat mereka yang miskin dan tak punya apa-apa hukum diperlakukan secara keras.

 

Dalam kaitan itu, sebagian generasi muda merasa hidup berbangsa dalam payung negara Indonesia ternyata bukan buat mereka. Negara ternyata hanya melayani sebagian anak bangsa, tapi bukan mereka. Generasi muda yang merasa seperti ini bisa jadi akan memilih sikap bahwa bangsa dan negara Indonesia ini tak layak dipertahankan. Mereka merasa lebih baik membuat atau membangun bangsa dan negara sendiri.

 

Sikap lebih lunak dari itu adalah melakukan tindak kriminal, mengganggu keamanan dan ketenangan masyarakat atau bahkan menjadi teroris.

 

Karena itu, pernyataan di atas sekadar retoris sifatnya bahkan omong-kosong jika tidak diikuti oleh perbuatan yang mengarah pada pengembangan hidup berbangsa dan bernegara yang berkeadilan. Pernyataan itu bisa jatuh sekadar menjadi ideologi untuk menutupi realitas ketidak-adilan yang terjadi dalam hidup berbangsa.

 

Pesan buat mereka yang suka mengumbar pernyataan-pernyataan semacam, baiklah kiranya jika perhatian dan kerja diarahkan pada pengembangan hidup bersama yang berkeadilan dan jauh dari diskriminasi. Mengulang-ulang sesuatu yang kosong bukan tidak mungkin malah memunculkan sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya rasa muak pada generasi muda melihat perilaku elite dan tokoh politik yang cuma bisa memprovokasi dan menghasut – tapi tidak melakukan sesuatu yang nyata.

 

Barangkali kata bijak “diam adalah emas” bisa dicoba. Tokoh dan elite politik sebaiknya diam saja. Tidak usah membakar-bakar rasa kebangsaan atau nasionalisme kalau ketimpangan dan ketidak-adilan sosial-ekonomi belum bisa dipecahkan, halah…***



Aku Hamil, maka Aku Istimewa?
November 24, 2008, 5:57 am
Filed under: Refleksi

 

Seorang wanita hamil menulis surat pembaca di sebuah harian Ibu Kota. Isinya berisi keluhan tentang sikap seorang sopir taksi yang ia nilai tidak punya empati pada seorang wanita hamil. Peristiwanya demikian: bersama dua kawannya, sang wanita yang duduk di sebelah sopir muntah. Spontan si sopir panik dan berucap,”Aduh muntah, awas jangan kena jok”.

 

Pastilah dalam benak si wanita hamil ini, si sopir tidak semestinya bicara seperti itu. Ia adalah wanita, sedang hamil pula. Muntah bukanlah keinginannya, tapi bawaan orok. Atau, lebih jauh, mungkin si wanita hamil itu beranggapan bahwa bayi yang sedang ia kandung itu adalah penerus bangsa. Boleh jadi kelak anak itu menjadi presiden. Atau, macam-macam lainnyalah. Tak terpikir olehnya, anak itu juga kelak bisa jadi teroris.

 

Memang aneh, dalam masyarakat yang dituduh kaum feminis sebagai patriaki ini ternyata soal kehamilan bisa menjadi urusan semua orang, alias urusan publik. Wanita hamil seolah berhak dan punya privilese untuk diperlakukan istimewa. Bahkan kalau ada pria yang tidak memperlakukannya istimewa, si wanita hamil bisa berucap,”Kayak tidak dilahirkan dari rahim seorang Ibu saja!”.

 

Padahal di negara kita setiap harinya ada jutaan wanita hamil. Ini terlihat dari data pertambahan penduduk kita yang kini 230 juta ada pada tingkat di atas 1 persen. Itu artinya, setiap tahun jutaan pula bayi dilahirkan di Indonesia, puluhan ribu setiap harinya, dan ratusan ribu setiap bulannya.

 

Dengan tingkat pertumbuhan yang terbilang besar itu, kelahiran jutaan bayi oleh wanita-wanita hamil itu sebenarnya menjadi beban buat kehidupan bersama. Dari jutaan anak-anak yang dilahirkan ini, sebagian dari mereka – kalau hidup terus —  akan putus sekolah. Kalau pun sekolah hanya sampai tingkat SLTP. Mereka inilah kelak yang menghiasi angka pengangguran.

 

Berbeda misalnya di negara maju, seperti Singapura atau Jepang. Karena rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk, negara berusaha meningkatkan tingkat fertilitas. Wanita dibujuk dan diiming-imingi untuk mau hamil. Di beberapa negara Eropa, seperti Jerman dan Swedia, hal sama juga terjadi. Urusan kehamilan memang menjadi urusan semua orang, alias urusan publik.

 

Di Indonesia agaknya tidaklah. Pertambahan penduduk kita sudah pada tingkat mencemaskan. Kalau ia menjadi urusan publik, soalnya adalah bagaimana membujuk  wanita Indonesia tidak terlalu sering hamil. Wanita yang hamil berkali-kali  cermin sikap diri yang  tidak peka dan peduli pada persoalan bersama.

 

Sopir taksi itu  akan kehilangan waktu mendapat sewa, jika joke mobilnya kotor. Ia merasa soal kehamilan adalah urusan privat. Dalam proses kehamilan ada unsur rekreasi, selain prokreasi. Kenapa di soal rekreasi wanita itu diam saja, tapi tiba pada prokreasi melibatkan orang lain? Inilah yang membedakan manusia dengan kucing, halah…



Dia yang Selalu Merasa Cemas
November 16, 2008, 9:40 am
Filed under: Cerita

 

Rama masih terus mencoba mengangkat tangannya setiap kali mobil akan melintas di hadapannya. Dia tahu posisinya memang tidak strategis untuk mendapatkan pengguna jasa tubuhnya. Emaknya pernah bilang, kalau mau “dapat mobil” harus ambil posisi di tengah, jangan di kedua ujung jalan dekat lampu  merah. Di persimpangan jalan selalu ada polisi berdiri. Pengendera mobil biasanya takut mengajakmu jika ada polisi.

 

Tapi, senja yang terus merambat itu tak lagi memberi waktu buat Rama berganti posisi. Posisi yang sekarang ia peroleh pun ia dapatkan dengan susah payah. Tadi sore ketika tiba di tempat itu, ia sudah ingat kata-kata Emak. Rama mengambil posisi di tengah dari deretan jalan. Tapi, baru saja ia berdiri, seorang pria kurus bertato mengusirnya.

 

“Heh, jangan berdiri di situ,” bentak pria itu membuat Rama kecut. Rama tidak tahu kenapa ia tak boleh berdiri di situ. Tapi melihat tampang sangar pria itu, hati Rama ciut dan tak sedikit pun ada keberanian dalam dirinya untuk bertanya dan protes. Rama menuruti saja perintah pria itu. Ia mencoba berjalan ke arah lampu merah, menggeser posisinya menjauh dari pria berambut acak-acakan itu. Baru saja beberapa meter berhenti, mengira ini adalah posisi terbaik, seorang perempuan setengah tua menghardiknya.

 

Posisi di dekat lampu merah membuat tak sekali pun pengendara mobil berani memakai jasa Rama. Dengan kaki yang mulai goyah dan tangan terasa berat, Rama terus saja mencoba mengangkat dan melambaikan tangannya setiap kali mobil akan melintas di depannya. Rasa putus asa dan sedih menggelayuti hatinya. Rama ingat dua adik kecilnya di rumah rewot di pinggir kali. Ia ingat Emak. Rama merasa dunia agak gelap, matanya mulai berkunang-kunang. Ia tahu ini bukan hanya karena lapar yang menyergapnya lantaran sejak siang belum makan. Tapi, rasa cemas dan gelisah juga ikut andil di dalamnya.

 

Tanpa terasa air mata mulai mengalir di pelupuk mata Rama. Tapi bersamaan dengan itu pula ia dikagetkan sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya. Rama masih bengong, terpana. Sempat beberapa detik ia tidak bereaksi.

 

“Ayo cepat. Ada polisi,” kata seorang pria yang duduk di samping sopir sembari buru-buru membukakan pintu mobil bagian tengah. “Ayo!” teriak pria itu lagi melihat Rama masih tak bereaksi. Sontak Rama berlari dan meloncat ke dalam mobil.

 

Di dalam mobil yang berudara sejuk dan wangi itu Rama hanya diam. Ia ingat Emak yang kemarin “diangkut” petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Ia ingat dua adik kecilnya. Tapi ia juga sedikit merasa senang. Sebentar lagi ia akan mendapat uang. Ia akan bawa makanan nasi bungkus buat dua adik kecilnya.

 

“Kenapa koq seperti orang bingung,” terdengar suara dari seorang pria yang duduk di samping sopir. Pria itu dari tadi, sejak Rama duduk di mobil, memperhatikan dirinya melalui kaca spion di bagian atas mobil. “Saya takut Pak,” kata Rama.***

 



Bekerja Keras, Bersenang-senang sampai Puas, Lalu…?
November 15, 2008, 8:44 am
Filed under: Refleksi

 

Sebagian orang yang tinggal di kota besar, kini punya moto. Bunyinya demikian: bekerjalah secara keras, kemudian bersenang-senang pula sampai puas. Dalam praktik sehari-hari moto ini diterjemahkan sebagai bekerja optimal, bila perlu tak kenal waktu, pergi dini pulang larut. Pendeknya, kumpulkan uang sebanyak mungkin. Tapi, setelah uang terkumpul, eh jangan lupa: habiskan dengan bersenang-senang sampai puas.

 

Tidak aneh jika tempat-tempat hiburan di kota-kota besar, terutama di Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makasar terus tumbuh – bahkan mengalahkan laju pertumbuhan gedung-gedung sekolah. Berbagai peristiwa pertunjukan pun marak diselenggarakan, mulai musik, tari, teater, pameran lukisan, hingga film. Tapi yang paling pesat pertumbuhannya adalah kafe, klub, diskotek, dan restoran. Bersamaan dengan ini, berbagai pusat perbelanjaan seperti mal, supermarket, pun berdiri seolah tidak mau kalah.

 

Moto hidup yang dipegang kelas menengah perkotaan ini bisa dilihat pada berbagai acara televisi. Ada televisi di Jakarta yang bersiaran lokal bahkan memberi nama sebuah program acaranya “work hard, play hard”. Televisi yang bersiaran secara nasional tak kalah banyaknya menyiarkan program acara yang memotret tingkah-laku kelas menengah ini. Di layar televisi, tampak mereka berkumpul menghadiri sebuah pertunjukan musik atau bergoyang diiringi pemandu musik (disc jockey) yang tengah beraksi.

 

Pada sebagian acara televisi bahkan kita bisa melihat anak-anak muda baik pria maupun wanita bergoyang dengan mata setengah tertutup – menggambarkan orangnya setengah mabuk atau mabuk berat. Di tangan orang-orang itu biasanya ada gelas yang berisi minuman. Menilik warnanya sebagian pastilah itu minuman keras. Si wanita muda tak segan-segan diperlihatkan bergoyang sambil merokok, bahkan berpeluk-pelukan dengan pria muda.

 

Moto yang disebar secara masif oleh media, termasuk media cetak dan radio, ini memang telah berhasil mengubah perilaku generasi muda kelas menengah perkotaan. Terlihat betapa senang mereka dengan kehidupan barunya. Melalui mereka kita diperlihatkan betapa hidup memang mudah dan menyenangkan. Dengan wajah yang sumringah dan pakaian megah, pada diri mereka kita melihat Indonesia adalah sebuah negara cukup modern dan maju – sama seperti negara-negara lain yang memang benar-benar maju.

 

Tapi, kalau kita cermati lebih jauh, semua ini sebenarnya semu. Anak-anak muda yang tampak makmur dan bahagia itu hanya gambaran sebagian kecil masyarakat Indonesia. Bagian lebih besar anak-anak muda Indonesia hidup dalam kemiskinan, putus sekolah, menganggur, dan cemas serta gelisah menjalani hidupnya.

 

Anak-anak muda yang bersenang-senang sampai puas itu pun sesungguhnya belum tentu adalah pekerja keras. Sebagian dari mereka bisa melakukan semua itu karena memakai uang orangtuanya. Tapi, apa pun alasannya, sistem kapitalisme yang kini melingkupi hidup kita telah berhasil menjadikan anak-anak muda itu sebagai konsumen.***



Kesenjangan Itu Membahayakan
November 14, 2008, 7:42 am
Filed under: Refleksi

Sejak Orde Baru, lebih 40 tahun silam, kita, warga negara Republik Indonesia, hidup di bawah sistem kapitalisme. Pasar menjadi lembaga sosial yang punya peran sentral dalam mengalokasikan sumberdaya. Sebagai tempat pertemuan antara permintaan dan penawaran yang melahirkan harga, pasar menjadi patokan untuk menentukan seberapa banyak barang dan jasa yang kita butuhkan harus diproduksi dan didistribusi.


Pada awalnya, negara yang diwakili pemerintah masih berusaha untuk mengendalikan pasar. Ini terlihat dari beberapa komoditas strategis masih dikuasai dan diproduksi oleh negara. Untuk komoditas minyak, misalnya, negara masih memegang monopoli melalui perusahaan negara Pertamina. Begitu juga untuk komoditas listrik dan beras. Melalui perusahaan listrik Negara (PLN) dan Bulog, komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu masih dikendalikan oleh pemerintah.


Tapi makin ke mari makin mengecillah peran pemerintah. Terutama sejak Orde Baru tumbang, ada banyak komoditas barang dan jasa yang tadinya masih dipegang pemerintah kini sudah beralih ke perusahaan swasta. Negara yang direpresentasikan oleh pemerintah, secara terus-menerus dan sepertinya terencana, ingin disingkirkan dari pasar. Entah dari mana datangnya ide ini – karena bertentangan dengan amanat UUD 1945 – negara ingin difungsikan hanya mengatur – tidak ikut memproduksi dan mendistribusi.


Akibatnya tampak jelas. Secara fisik, terutama di perkotaan, tampak perekonomian Indonesia maju pesat. Ada banyak gedung bertingkat didirikan. Jalan-jalan pun banyak dibangun, baik yang bebas hambatan maupun jalan biasa. Mobil dan sepeda motor setiap hari terlihat semakin banyak memadati jalan-jalan di perkotaan. Tapi, bersamaan dengan tampilan fisik yang mengesankan ini, sebenarnya di balik semua itu perekonomian Indonesia belumlah menggembirakan.


Jika dibanding negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand – apalagi Korea Selatan – sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak patut dibanggakan. Terutama jika diukur dari seberapa besar sumberdaya alam yang telah terkuras untuk menghasilkan pertumbuhan itu. Indonesia tergolong belum efisien. Selain itu, disparitas pertumbuhan antara desa dan kota, antara Jawa dan Luar Jawa, antara Indonesia Barat dan Timur, juga antargolongan semakin mencolok.


Akibatnya, urbanisasi terus-menerus menekan pertumbuhan kota. Kemiskinan meluas tidak hanya di pedesaan, tapi juga di perkotaan. Kesenjangan ini sepertinya sedang menumpuk “kayu bakar” di perkotaan yang setiap saat siap disulut untuk membakar kota. Inilah yang terjadi pada Peristiwa Mei 1998. Seperti semut yang berkumpul di balik dinding, tembok, dan bawah lantai gedung, manusia yang tinggal di daerah kumuh perkotaan itu akan keluar beramai-ramai menyerang dan memasuki gedung-gedung tinggi dan pertokoan ketika ada pihak yang “memukul-mukul” dinding gedung. Mereka menjarah dan membakar, bahkan memperkosa penghuni gedung.***